Rabu, 07 Juli 2010

RM Dargo

TEMPO Interaktif, Siang nan terik masih menyelimuti seharian panjang saat menelusuri Kota Purworejo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Dalam sejarahnya, kota ini lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen, yang merupakan kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain.

Dulu, dalam pengembangan agama Islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng dikenal sebagai mubalig besar yang mengislamkan wilayah dari timur Sungai Lukola sampai ke Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang. Kanjeng Sunan tersebut tercatat berasal dari Purworejo.

Sejarah lainnya, dalam pembentukan Kerajaan Mataram Islam, Kenthol Bagelen merupakan pasukan andalan dari Sutawijaya, yang kemudian, setelah bertakhta, bergelar Panembahan Senopati. Dalam sejarah, tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer, sehingga nama Begelen sangat disegani.

Pada pasca-Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan, yang dikenal sebagai Tanah Bagelen, dijadikan sebagai Karesidenan Bagelen dengan ibu kota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, yaitu Kedungkebo dan Brengkelan.
Selain dikenal dalam sejarah kerajaan, kota ini pun tercatat menelurkan para tokoh pejuang Indonesia, seperti Adipati Cokronegoro dan W.R. Supratman, sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Juga para tokoh militer, seperti Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Ahmad Yani, dan Sarwo Edy Wibowo.

Nah, kita memang tidak membahas riwayat kota tua tersebut. Siang itu, setelah panas terik menyengat, saya mencari referensi makanan yang pantas di sini. Dari informasi beberapa orang, mereka menyebut nama sebuah rumah makan Nasi Bebek dan Burung Dara Pak Dargo.

Tempat makan sederhana ini berlokasi tak jauh dari alun-alun kota. Tepatnya di sebelah Stasiun Kereta Api Purworejo. Sampai di restoran Pak Dargo, hilanglah rasa penat sekujur tubuh, karena tergantikan oleh pandangan yang langsung menerbitkan lapar.

Betapa tidak, begitu masuk ke lokasi seluas sekitar 10 x 10 meter itu, saya langsung disambut oleh prasmanan setumpukan makanan yang menggugah selera dan membuat nyanyian dalam perut terus berbunyi. Dalam tatanan sederhana ala kampung, semua penganan bebek, burung dara, dan ayam--dari yang digoreng, ditumis, hingga dibakar--tumpah ruah dalam baskom-baskom, sehingga menyemburatkan aroma lezat.

Sainah, salah satu pelayan yang menyambut saya, dengan cekatan langsung memberikan piring kosong. Saya pun seperti kalap, langsung bernafsu memilih aneka menu unggas, yang mayoritas menu bebek, dengan perasaan buncah.
"Mbak, silakan kalau mau menunya dipanasi lagi. Mangan dalam keadaan panas-panas lebih menarik," kata Sainah. Ia sangat ramah dan membantu saya memilihkan menu yang tersaji beraneka ragam itu. Saya pun mengangguk setuju.
Saya memilih bebek goreng bumbu kuning, yang saya perhatikan dari warnanya aduhai sangat cantik. Saya yakin, pasti proses pembuatannya bukan dengan menggunakan bahan pengawet atau pewarna buatan.

Betul juga. "Yang ini bebek, ayam, dan burung daranya kami beri kunyit, jahe, serta rempah-rempah lain. Sebelum dimasak, bumbunya dilumuri selama setengah jam supaya meresap. Lalu diungkep hingga airnya kering, barulah digoreng," ujar Sainah seolah tahu apa yang ada dalam pikiran saya.

Sebagai pembanding, saya comot bebek bacem yang berwarna cokelat mirip tempe atau tahu bacem. "Yang ini, kami memakai air kelapa dan gula merah, lalu memasaknya menggunakan kuali dan tungku," tutur wanita tua ramah itu setengah berbisik. Untuk sayur, saya pilih tumis labu dan daun melinjo, lalu sambal dan lalap. Juga botok tempe pelas udang.

Sambil menunggu makanan yang dipanaskan, saya menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan itu. Tampak di dinding terpampang foto-foto beberapa tokoh penting saat makan di sini. Mereka adalah Amien Rais, Akbar Tanjung, Surya Paloh, Megawati Soekarnoputri, Prabowo, Jusuf Kalla, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kalau diamati, dinding tersebut seperti pameran foto. "Beberapa tokoh yang mau meraih posisi penting atau sudah menjabat memang suka makan di sini. Karena rasa bebeknya yang empuk, gurih, tidak amis, dan cita rasa bumbunya bervariasi," kata seorang tamu yang berdiri di sebelah saya.

Beberapa menit berlalu, pesanan pun datang. Segelas es jeruk nipis yang segar segera saya teguk untuk menghilangkan rasa haus sebelum melahap. "Semua menu bebeknya maknyus, loh, Mbak. Saya selalu makan ke sini setiap ada kesempatan bertugas di kota ini," seorang tamu lain mendekati meja saya. Dia rupanya teringat pada ungkapan Bondan Winarno, yang terkenal tersebut.

Menilik penampilannya, tamu tersebut adalah seorang tentara berpangkat kapten yang duduk di seberang meja saya bersama tiga orang temannya. Saya hanya tersenyum simpul sambil menikmati pelan-pelan semua menu. Dalam hati, benar, menu bebek ini, meski di daerah, cita rasanya tidak kalah dengan menu bebek di kota besar. Rata-rata harga menu bebek untuk setiap potongnya mulai Rp 8.500 ke atas. Untuk minuman, mulai Rp 2.000 saja.

Sayangnya, fasilitas cuci tangan di rumah makan sederhana ini kelewat minim dan seadanya. Yang tampak, keran air kerap macet, sehingga menimbulkan antrean panjang ketika para tamu akan membersihkan tangan setelah puas bersantap.
"Sering sekali keran airnya macet, jadi bikin kita merasa gimana. Seharusnya, wong sudah sering dikunjungi orang penting, ya diperbaiki. Tapi siapa tahu mungkin yang begini memang pelarisnya," seorang pengunjung di belakang saya berkeluh panjang.
| HADRIANI P (PURWOREJO)

Sabtu, 03 Juli 2010

MOTIVATION this blog

Saya membuat blog ini karena ingin memperkenalkan Purworejo kepada everyone in the world